Kegelisahan Batin Sang Penulis...
Pada bagian persembahan dalam kitab Ta'lil al-Ahkam fî al-Syari'ah al-Islamiyyah (cetakan Dar al-Basyir, Thantha, 2000), sang penulis, Adil al-Syuwaikh menukil suatu petikan ringkas dari perkataan Imad al-Ashfihani, sebagai berikut:
Maknanya kira-kira sebagai berikut:
"Dari pengamatanku, tidaklah seseorang menulis buku pada hari ini, kecuali ia akan berkata pada esok harinya: "kalau aku tidak menulis kalimat begini, tentu buku ini akan lebih baik", atau " kalau ditambah sedikit kata-kata ini, tentu akan lebih mantap", atau: "andai bagian ini didahulukan, tentu akan lebih bagus", atau: "andai kata ini tidak ditulis, tentu akan lebih indah".... Sungguh, ini adalah ibroh yang amat berharga, yang membuktikan betapa lemahnya manusia".
Imaduddin al-Ashfihani (519H-597H), yang memiliki nama asli Muhammad bin Shafiyyuddin bin Nafisuddin al-Ashfihani, adala seorang sejarawan, hakim, menteri. pujangga dan juga ulama yang hidup di masa Dinasti Daulah Nuriyyah dan Ayyubiyyah. Beliau merupakan orang dekat dengan dua tokoh Islam kenamaan, yaitu Sholahuddin al-Ayyubi dan Nuruddin Zanki. Beliau lagi di Ashfihan (Iran) tahun 519 H dan wafat di Damaskus pada tanggal 13 Ramadhan 597 H).
Semasa remaja, sekira beusia 20 tahun, beliau meninggalkan kampung halaman dan pergi ke Baghdad untuk belajar di Madrasah Nizhamiyyah. lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizham al-Malik dari dinasti Abbasiyah yang amat terkenal saaat itu. Bagaimana tidak, ulama sekaliber Imam Ghazali pun terlahir dari sana.
Dari lembaga itu, beliau mendapat prestasi yang gemilang, reputasinya amat baik, hingga menjadi ulama yang terbilang. Ibnu Khalkan dalam Wafiyyat al-A'yan mengatakan:
"Imad al-Ashfihani adalah seorang faqih bermazhab Syafi'i, ia belajar di Madrasah Nizhamiyyah cukup lama, ia ahli dalam bidang khilafiyah dan juga sastra, ia mahir menggubah syair dan menulis risalah". (Wafiyyat al-A'yan, Juz. V, hlm. 147-148)
Beliau juga seorang perawi hadits, diakui oleh Imam al-Dzhabi dalam Siyar A'lam al-Nubala. Ibnu al-Najjar -sebagaimana dikutip oleh Imam al-Subki dalam Thabaqât al-Syafi'iyyah- mengatakan:
"Imad al-Ashfihani adalah seorang ulama yang mutqin (pakar) di bidang hadits, khilafiyyah, nahwu, ilmu bahasa, dan seorang yang menguasai sejarah manusia... beliau adalah ilmuan terbaik sepanjang masa, tidak ada yang menandingi beliau di masanya" (Thabaqat al-Syafi'iyyah al-Kubra, Juz. VI, hlm. 179-180)
Pada tahun 562 H /1166 M, atas rekomendasi dari Hakim Damaskus, Kamaluddin al-Syahruzi, Imad diangkat oleh Nuruddin Zanki, penguasa Damaskus waktu itu, sebagai pemimpin Madrasah Nuriyyah di Damaskus. Namun ketika Zanki wafat pada tahun 1173 M, Imad dicopot dan ia kemudian pindah ke Mosul.
Namun ketika Sholahuddin al-Ayyubi memimpin daulah Ayyubiyah, ia kembali ke Damaskus dan diangkat menjadi sekretaris negara. Tidak hanya itu, beliau juga selalu menemani Sholahuddin di medan jihad.
Beliau berkawan baik dengan para ulama, di antaranya adalah al-Qadhi al-Fadhil Abdur Rahim al-Bisani, hakim daulah Ayyubiyyah yang tinggal di Kairo,yang dikenal sebagai Ustadz al-Ulama al-Bulagha', keduanya sering mengunjungi dan berkirim surat.
(NB. Dalam Kasyf al-Zhunun, Haji Khalifah menyatakan bahwa kata-kata nukilan di atas merupakan perkataan al-Qadhi al-Fadhil yang merupakan bagian permintaan maafnya kepada Imad al-Ashfihani. Penisbatan ungkapan ini kepada Imad al-Ashfihani merupakan suatu kekeliruan. Hal ini dikuatkan juga dalam kitab Syarh Ihya' Ulumiddin karangan al-Zubaidi. Jadi penisbatan ungkapan ini kepada Imad al-Ashfihani merupakan suatu kekeliruan. Ungkapan ini awalnya tidak begitu populer, namun setelah pujangga Mesir, Ahmad Farid al-Rifa'i mencantumkannya dalam cetakan kitab Mu'jam al-Udaba' karya Yaqut al-Hamawi, mulailah ungkapan ini populer di kalangan pujangga Arab kontemporer dan dinisbatkan kepada Imad al-Ashfihani).
Teramat panjang untuk menuliskan riwayat hidup beliau. Namun, di akhir hayatnya, ketika Sholahuddin al-Ayyubi wafat, anak-anak Sholahuddin tidak memperlakukan beliau sebagaimana perlakuan ayah mereka dulu, hingga Imad memilih tinggal di rumahnya untuk menulis, hingga wafat di tahun 597 H (1201 M).
Di luar riwayat hidup yang gemilang itu....
Imad benar... menulis adalah perjuangan batin... menggoreskan pena adalah penumpahan rasa, yang mengalirkan buah fikiran dan apa yang tersimpan di dalam minda. Lazimnya manusia, apa yang terasa benar tempo hari, terasa salahnya di kemudian hari. Di situ sang penulis baru tersadar, betapa tulisanya tak lebih dari permainan fikiran. Semua penulis akan merasakan hal ini...
Maknanya kira-kira sebagai berikut:
"Dari pengamatanku, tidaklah seseorang menulis buku pada hari ini, kecuali ia akan berkata pada esok harinya: "kalau aku tidak menulis kalimat begini, tentu buku ini akan lebih baik", atau " kalau ditambah sedikit kata-kata ini, tentu akan lebih mantap", atau: "andai bagian ini didahulukan, tentu akan lebih bagus", atau: "andai kata ini tidak ditulis, tentu akan lebih indah".... Sungguh, ini adalah ibroh yang amat berharga, yang membuktikan betapa lemahnya manusia".
Imaduddin al-Ashfihani (519H-597H), yang memiliki nama asli Muhammad bin Shafiyyuddin bin Nafisuddin al-Ashfihani, adala seorang sejarawan, hakim, menteri. pujangga dan juga ulama yang hidup di masa Dinasti Daulah Nuriyyah dan Ayyubiyyah. Beliau merupakan orang dekat dengan dua tokoh Islam kenamaan, yaitu Sholahuddin al-Ayyubi dan Nuruddin Zanki. Beliau lagi di Ashfihan (Iran) tahun 519 H dan wafat di Damaskus pada tanggal 13 Ramadhan 597 H).
Semasa remaja, sekira beusia 20 tahun, beliau meninggalkan kampung halaman dan pergi ke Baghdad untuk belajar di Madrasah Nizhamiyyah. lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizham al-Malik dari dinasti Abbasiyah yang amat terkenal saaat itu. Bagaimana tidak, ulama sekaliber Imam Ghazali pun terlahir dari sana.
Dari lembaga itu, beliau mendapat prestasi yang gemilang, reputasinya amat baik, hingga menjadi ulama yang terbilang. Ibnu Khalkan dalam Wafiyyat al-A'yan mengatakan:
"Imad al-Ashfihani adalah seorang faqih bermazhab Syafi'i, ia belajar di Madrasah Nizhamiyyah cukup lama, ia ahli dalam bidang khilafiyah dan juga sastra, ia mahir menggubah syair dan menulis risalah". (Wafiyyat al-A'yan, Juz. V, hlm. 147-148)
Beliau juga seorang perawi hadits, diakui oleh Imam al-Dzhabi dalam Siyar A'lam al-Nubala. Ibnu al-Najjar -sebagaimana dikutip oleh Imam al-Subki dalam Thabaqât al-Syafi'iyyah- mengatakan:
"Imad al-Ashfihani adalah seorang ulama yang mutqin (pakar) di bidang hadits, khilafiyyah, nahwu, ilmu bahasa, dan seorang yang menguasai sejarah manusia... beliau adalah ilmuan terbaik sepanjang masa, tidak ada yang menandingi beliau di masanya" (Thabaqat al-Syafi'iyyah al-Kubra, Juz. VI, hlm. 179-180)
Pada tahun 562 H /1166 M, atas rekomendasi dari Hakim Damaskus, Kamaluddin al-Syahruzi, Imad diangkat oleh Nuruddin Zanki, penguasa Damaskus waktu itu, sebagai pemimpin Madrasah Nuriyyah di Damaskus. Namun ketika Zanki wafat pada tahun 1173 M, Imad dicopot dan ia kemudian pindah ke Mosul.
Namun ketika Sholahuddin al-Ayyubi memimpin daulah Ayyubiyah, ia kembali ke Damaskus dan diangkat menjadi sekretaris negara. Tidak hanya itu, beliau juga selalu menemani Sholahuddin di medan jihad.
Beliau berkawan baik dengan para ulama, di antaranya adalah al-Qadhi al-Fadhil Abdur Rahim al-Bisani, hakim daulah Ayyubiyyah yang tinggal di Kairo,yang dikenal sebagai Ustadz al-Ulama al-Bulagha', keduanya sering mengunjungi dan berkirim surat.
(NB. Dalam Kasyf al-Zhunun, Haji Khalifah menyatakan bahwa kata-kata nukilan di atas merupakan perkataan al-Qadhi al-Fadhil yang merupakan bagian permintaan maafnya kepada Imad al-Ashfihani. Penisbatan ungkapan ini kepada Imad al-Ashfihani merupakan suatu kekeliruan. Hal ini dikuatkan juga dalam kitab Syarh Ihya' Ulumiddin karangan al-Zubaidi. Jadi penisbatan ungkapan ini kepada Imad al-Ashfihani merupakan suatu kekeliruan. Ungkapan ini awalnya tidak begitu populer, namun setelah pujangga Mesir, Ahmad Farid al-Rifa'i mencantumkannya dalam cetakan kitab Mu'jam al-Udaba' karya Yaqut al-Hamawi, mulailah ungkapan ini populer di kalangan pujangga Arab kontemporer dan dinisbatkan kepada Imad al-Ashfihani).
Teramat panjang untuk menuliskan riwayat hidup beliau. Namun, di akhir hayatnya, ketika Sholahuddin al-Ayyubi wafat, anak-anak Sholahuddin tidak memperlakukan beliau sebagaimana perlakuan ayah mereka dulu, hingga Imad memilih tinggal di rumahnya untuk menulis, hingga wafat di tahun 597 H (1201 M).
Di luar riwayat hidup yang gemilang itu....
Imad benar... menulis adalah perjuangan batin... menggoreskan pena adalah penumpahan rasa, yang mengalirkan buah fikiran dan apa yang tersimpan di dalam minda. Lazimnya manusia, apa yang terasa benar tempo hari, terasa salahnya di kemudian hari. Di situ sang penulis baru tersadar, betapa tulisanya tak lebih dari permainan fikiran. Semua penulis akan merasakan hal ini...
Bagaimana Komentarmu?