Dibandingkan Mereka, Kita Ini Baru Selevel Pencuri...!
Rabi' bin Khaitsam rahimahullah, seorang tabi'in yang amat wara', murid daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Kesalehannya diakui orang-orang di masa itu, sampai-sampai Ibnu Mas'ud r.a sendiri pernah berkata kepadanya:
"Sungguh, andai Rasulullah Saw masih hidup dan melihatmu, tentu dia amat mencintaimu!".
Syahdan suatu ketika, Rabi' menderita sakit yang amat parah, sehingga ia tak mampu berjalan ke mana-mana dan hanya bisa berdiam di atas kasur.
Saat itu, datanglah Hilal bin Isaf dan Mudzir bin Ya'la Ats-Tsauri membesuk beliau. Sebelum berangkat ke sana, Mundzir betanya kepada Hilal:
"Menurutmu, apa sebaiknya kita mengawali pembicaaran telebih dahulu kepada Syaikh Rabi', atau kita diam saja dan mendengar beliau berbicara?".
Hilal menjawab:
"Apa kamu belum tahu? Kalau kita duduk bersama Rabi' bin Khaitsam selama satu tahun lamanya, sungguh ia takkan memulai pembicaraan denganmu sebelum engkau membuka percakapan dengannya! Dia takkan berbicara denganmu sebelum engkau bertanya kepadanya! Sungguh, bicara baginya adalah zikir, dan diamnya adalah fikir!".
Mundzir berkata: "Baiklah.. mari kita berangkat".
Dua sahabat itu pun berangkat dan sampai di rumah Rabi' tak berapa lama. Waktu itu hari masih pagi. Dua sahabat itu membuka pembicaraan:
"Wahai Syaikh, Bagaiman kabar tuan pagi ini?".
Rabi' menjawab:
"Semakin hari, aku semakin lemah dan penuh dosa, rizki yang ada aku makan, seraya menungguh datangnya ajal kematian".
Hilal lalu berkata:
"Kami dengar, ada seorang dokter hebat datang ke kota Kufah ini beberapa waktu lalu. Bagaimana kalau kami jemput dia untuk mengobati Tuan?".
"Duhai Hilal, sungguh aku mengerti bahwa berobat itu haq. Tapi, aku telah merenungi apa yang menimpa kaum 'Aad, Tsamud, Ashabur Rass.,dan kaum-kaum Nabi terdahulu.... sungguh, mereka amat ambisius mengejar dunia, mengmpulkanb kekayaan, mereka lebih kuat dari kita, lebih berkemampuan... Mereka juga memiliki dokter dan tabib-tabib yang hebat... Tapi, baik yang berobat maupun yang diobati, semuanya binasa jua akhirnya....". Jawab Rabi'.
Kemudian ia mendesah nafas dalam-dalam... dan berkata:
"Sungguh, jika desahan ini pun penyakit, tentu kita akan berusaha mengobatinya...".
"Syaikh, jadi apakah yang sebenar-benarnya penyakit di dunia ini?". Tanya Mundzir.
"Dosa... itulah penyakit yang sesungguhnya!". Jawab Rabi'.
"Lantas, apa yang sebenar-benarnya obat?". Tanya Mundzir.
"Istighfar...". Jawab Rabi'.
"Lalu, apa yang sebenar-benar kesembuhan?".
"Engkau bertobat, lalu tidak mengulangi dosa".
Kamudian Rabi' menatap dua bersahabat itu dan berkata:
"Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa yang tersembunyi dan rahasia...yang tak tampak oleh mata manusia, tapi amat jelas di mata Allah Swt.... bersungguh-sungguhlah mencari obatnya...!".
"Apakah obatnya, duhai Syaikh?".
"Taubat nasuha...itulah yang sebenar-benar obat...".
Kemudian Rabi' menangis hingga air mata membasahi janggutnya. Melihat hal itu, Mundzir dan Hilal bertanya:
"Wahai Syaikh, orang sesaleh Tuan pun menangis juga?".
Rabi' menjawab:
"Apa? Mengapa aku tidak patut menangis? Sungguh, aku telah bergaul dengan banyak manusia yang mulia (maksudnya adapa para sahabat Rasulullah Saw) , jika dibandingkan kita dengan mereka, maka kita ini tak ubahnya baru selevel dengan para pencuri!".
Hilal dan Mundzir pun saling bertatap-tatapan.
* * *
Lantas, jika dibandingkan dengan kita... siapalah kita ini...?
"Sungguh, andai Rasulullah Saw masih hidup dan melihatmu, tentu dia amat mencintaimu!".
Syahdan suatu ketika, Rabi' menderita sakit yang amat parah, sehingga ia tak mampu berjalan ke mana-mana dan hanya bisa berdiam di atas kasur.
Saat itu, datanglah Hilal bin Isaf dan Mudzir bin Ya'la Ats-Tsauri membesuk beliau. Sebelum berangkat ke sana, Mundzir betanya kepada Hilal:
"Menurutmu, apa sebaiknya kita mengawali pembicaaran telebih dahulu kepada Syaikh Rabi', atau kita diam saja dan mendengar beliau berbicara?".
Hilal menjawab:
"Apa kamu belum tahu? Kalau kita duduk bersama Rabi' bin Khaitsam selama satu tahun lamanya, sungguh ia takkan memulai pembicaraan denganmu sebelum engkau membuka percakapan dengannya! Dia takkan berbicara denganmu sebelum engkau bertanya kepadanya! Sungguh, bicara baginya adalah zikir, dan diamnya adalah fikir!".
Mundzir berkata: "Baiklah.. mari kita berangkat".
Dua sahabat itu pun berangkat dan sampai di rumah Rabi' tak berapa lama. Waktu itu hari masih pagi. Dua sahabat itu membuka pembicaraan:
"Wahai Syaikh, Bagaiman kabar tuan pagi ini?".
Rabi' menjawab:
"Semakin hari, aku semakin lemah dan penuh dosa, rizki yang ada aku makan, seraya menungguh datangnya ajal kematian".
Hilal lalu berkata:
"Kami dengar, ada seorang dokter hebat datang ke kota Kufah ini beberapa waktu lalu. Bagaimana kalau kami jemput dia untuk mengobati Tuan?".
"Duhai Hilal, sungguh aku mengerti bahwa berobat itu haq. Tapi, aku telah merenungi apa yang menimpa kaum 'Aad, Tsamud, Ashabur Rass.,dan kaum-kaum Nabi terdahulu.... sungguh, mereka amat ambisius mengejar dunia, mengmpulkanb kekayaan, mereka lebih kuat dari kita, lebih berkemampuan... Mereka juga memiliki dokter dan tabib-tabib yang hebat... Tapi, baik yang berobat maupun yang diobati, semuanya binasa jua akhirnya....". Jawab Rabi'.
Kemudian ia mendesah nafas dalam-dalam... dan berkata:
"Sungguh, jika desahan ini pun penyakit, tentu kita akan berusaha mengobatinya...".
"Syaikh, jadi apakah yang sebenar-benarnya penyakit di dunia ini?". Tanya Mundzir.
"Dosa... itulah penyakit yang sesungguhnya!". Jawab Rabi'.
"Lantas, apa yang sebenar-benarnya obat?". Tanya Mundzir.
"Istighfar...". Jawab Rabi'.
"Lalu, apa yang sebenar-benar kesembuhan?".
"Engkau bertobat, lalu tidak mengulangi dosa".
Kamudian Rabi' menatap dua bersahabat itu dan berkata:
"Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa yang tersembunyi dan rahasia...yang tak tampak oleh mata manusia, tapi amat jelas di mata Allah Swt.... bersungguh-sungguhlah mencari obatnya...!".
"Apakah obatnya, duhai Syaikh?".
"Taubat nasuha...itulah yang sebenar-benar obat...".
Kemudian Rabi' menangis hingga air mata membasahi janggutnya. Melihat hal itu, Mundzir dan Hilal bertanya:
"Wahai Syaikh, orang sesaleh Tuan pun menangis juga?".
Rabi' menjawab:
"Apa? Mengapa aku tidak patut menangis? Sungguh, aku telah bergaul dengan banyak manusia yang mulia (maksudnya adapa para sahabat Rasulullah Saw) , jika dibandingkan kita dengan mereka, maka kita ini tak ubahnya baru selevel dengan para pencuri!".
Hilal dan Mundzir pun saling bertatap-tatapan.
* * *
Lantas, jika dibandingkan dengan kita... siapalah kita ini...?
Bagaimana Komentarmu?