Gulai Lingkitang Nikmat di Arifin Ahmad
Sore itu, roda sepeda motor saya terhenti ketika melihat seorang abang yang duduk di pinggir Jl. Arifin Ahmad, Pekanbaru. Di depannya berdiri kota jualan bertuliskan "Gulai Langkitang (siput) Pensi)".
Langkitang... Lingkitang...
Hmmm... ternyata bukan hanya orang Perancis yang suka makan bekicot, orang Sumatera juga juga punya bekicot khas yang biasa dijadikan kuliner: namanya Lingkitang!
Bagi anak kampung yang pernah tinggal di pinggir sungai Kampar, lingkitang sudah tentu bukan barang asing. Hewan sejenis siput ini dulunya biasa dijadikan salah satu panganan sungai, tapi sekarang sudah langka ditemui.
Orang kampung saya menyebutnya lingkitang. Dulu, sewaktu masih kecil, memungut lingkitang yang hinggap di batu-batu karang sungai kampar merupakan keasyikan tersendiri. Selain di batu, lingkitang juga suka hinggap di kayu yang terbenam di sungai.
Selain itu, ada juga lingkitang yang hidup di pasir yang berair jernih, biasanya memiliki ukuran yang lebih besar daripada lingkitang batu.
Berbeda dengan siput sawah yang berlendir, atau juga siput darat yang berukuran besar yang biasa hingga di pohon pisang, lingkitang justru menyukai hidup di air deras dan jernih.
Di kampung kami, lingkitang biasa dimasak gulai santan. Bagian ekornya dipecahkan terlebih dahulu agar dagingnya bisa dihisap. Bagi yang tidak terbiasa, memang agak susah menikmati kuliner yang satu ini, tapi bagi yang sudah menikmatinya sejak kecil, percayalah bahwa menyedut kepala lingkitang memiliki keasyikan tersendiri! hehehe...
***
Karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu kuliner ini, saya pun singgah dekat abang penjual lingkitang.
"Lingkitang dari mana, Bang?". tanya saya basa-basi.
"Dari Pasaman". jawab si abang.
"Wah, jauh sekali". Barangkali ini sebabnya abang ini menyebutnya Langkitang, sebutan untuk siput ini di daerah Mandailing.
"Harganya berapa bang?".
"Lima ribu satu gelas". Abang ini memang menakar jualannya dengan gelas. Harga yang pantas dan sangat terjangkau untuk suatu makanan langka.
Setelah membeli, saya mohon izin sama si abang untuk memotret gulai lingkitang jualannya.
Tak hanya di Jl. Arifin Ahmad, penjual lingkitang gulai juga pernah saya lihat di Jl. Paus, Pekanbaru. Dan penjualnya juga sama-sama menjual pensi.
Berbeda dengan lingkitang, pensi merupakan sebangsa remis yang hidup di sungai, memiliki ukuran yang kecil dan biasa dimasak tumis atau sop. Umumnya, pensi ini didatangkan dari danau Maninjau.
Langkitang... Lingkitang...
Hmmm... ternyata bukan hanya orang Perancis yang suka makan bekicot, orang Sumatera juga juga punya bekicot khas yang biasa dijadikan kuliner: namanya Lingkitang!
Bagi anak kampung yang pernah tinggal di pinggir sungai Kampar, lingkitang sudah tentu bukan barang asing. Hewan sejenis siput ini dulunya biasa dijadikan salah satu panganan sungai, tapi sekarang sudah langka ditemui.
Orang kampung saya menyebutnya lingkitang. Dulu, sewaktu masih kecil, memungut lingkitang yang hinggap di batu-batu karang sungai kampar merupakan keasyikan tersendiri. Selain di batu, lingkitang juga suka hinggap di kayu yang terbenam di sungai.
Selain itu, ada juga lingkitang yang hidup di pasir yang berair jernih, biasanya memiliki ukuran yang lebih besar daripada lingkitang batu.
Berbeda dengan siput sawah yang berlendir, atau juga siput darat yang berukuran besar yang biasa hingga di pohon pisang, lingkitang justru menyukai hidup di air deras dan jernih.
Di kampung kami, lingkitang biasa dimasak gulai santan. Bagian ekornya dipecahkan terlebih dahulu agar dagingnya bisa dihisap. Bagi yang tidak terbiasa, memang agak susah menikmati kuliner yang satu ini, tapi bagi yang sudah menikmatinya sejak kecil, percayalah bahwa menyedut kepala lingkitang memiliki keasyikan tersendiri! hehehe...
***
Karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu kuliner ini, saya pun singgah dekat abang penjual lingkitang.
"Lingkitang dari mana, Bang?". tanya saya basa-basi.
"Dari Pasaman". jawab si abang.
"Wah, jauh sekali". Barangkali ini sebabnya abang ini menyebutnya Langkitang, sebutan untuk siput ini di daerah Mandailing.
"Harganya berapa bang?".
"Lima ribu satu gelas". Abang ini memang menakar jualannya dengan gelas. Harga yang pantas dan sangat terjangkau untuk suatu makanan langka.
Setelah membeli, saya mohon izin sama si abang untuk memotret gulai lingkitang jualannya.
Tak hanya di Jl. Arifin Ahmad, penjual lingkitang gulai juga pernah saya lihat di Jl. Paus, Pekanbaru. Dan penjualnya juga sama-sama menjual pensi.
Berbeda dengan lingkitang, pensi merupakan sebangsa remis yang hidup di sungai, memiliki ukuran yang kecil dan biasa dimasak tumis atau sop. Umumnya, pensi ini didatangkan dari danau Maninjau.
Bagaimana Komentarmu?