Untuk Apa Menyelam Lautan, Kalau Hanya Manyauk Air Setimba?
Berkata Maulana Jalaluddin Rumi:
Aduhai sunguh sayang! Ada orang yang sampai ke tengah lautan, tapi ia hanya mengambil setimba air, lalu ia pergi, meninggalkan intan permata dan ribuan benda berhaga yang tersimpan di sana.
Hanya setimba air laut, apalah artinya air setimba itu? Patutkah orang berakal berbangga dengan air setimba iut? Apa yang bisa mereka perbuat dengan air setimba itu?
Demikian pula hakikat alam raya ini, ia tak lebih dari sekedar buih yang mengambang di atas lautan itu. Adapun air lautan, itulah ilmunya para para wali.
Lantas di manakan sang permata?
Dunia ini tak lebih dari buih yang bercampur dengan rimah kotoran. Namun karena arus gelombang yang tak henti menghanyutkan dan menimang-nimangnya, buih itupun tampak cantik jua terlihat mata.
Allah Swt berfirman:
"Dan dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik". (QS. Ali Imran: 14)
Jika hanya "dijadikan indah", makan keindahan yang ada padanya bukanlah keindahan hakiki! Keindahan yang melekat padanya hanyalah pinjaman, yang datang dari tempat lain, ayaknya uang palsu yang disepuh kuning emas! Begitulah dunia! Ia tak lebih dari tumpukan buih, uang palsu yang tak bernilai dan harga, tapi kitalah yang menyepuhnya dengan wana kuning keemasan, hingga semua terlihat indah dalam pandangan kita!"
[Dari kitab: Fîhi Mâ Fîhi, karangan Maulana Jalaluddin Rumi, halaman 38. Bersambung Insya Allah]
Aduhai sunguh sayang! Ada orang yang sampai ke tengah lautan, tapi ia hanya mengambil setimba air, lalu ia pergi, meninggalkan intan permata dan ribuan benda berhaga yang tersimpan di sana.
Hanya setimba air laut, apalah artinya air setimba itu? Patutkah orang berakal berbangga dengan air setimba iut? Apa yang bisa mereka perbuat dengan air setimba itu?
Demikian pula hakikat alam raya ini, ia tak lebih dari sekedar buih yang mengambang di atas lautan itu. Adapun air lautan, itulah ilmunya para para wali.
Lantas di manakan sang permata?
Dunia ini tak lebih dari buih yang bercampur dengan rimah kotoran. Namun karena arus gelombang yang tak henti menghanyutkan dan menimang-nimangnya, buih itupun tampak cantik jua terlihat mata.
Allah Swt berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
"Dan dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik". (QS. Ali Imran: 14)
Jika hanya "dijadikan indah", makan keindahan yang ada padanya bukanlah keindahan hakiki! Keindahan yang melekat padanya hanyalah pinjaman, yang datang dari tempat lain, ayaknya uang palsu yang disepuh kuning emas! Begitulah dunia! Ia tak lebih dari tumpukan buih, uang palsu yang tak bernilai dan harga, tapi kitalah yang menyepuhnya dengan wana kuning keemasan, hingga semua terlihat indah dalam pandangan kita!"
[Dari kitab: Fîhi Mâ Fîhi, karangan Maulana Jalaluddin Rumi, halaman 38. Bersambung Insya Allah]
Bagaimana Komentarmu?