Perayaan Tabuik di Padang Tempo Dulu Dalam Catatan Sastrawan
Banyak orang menilai, salah satu tradisi Syi'ah yang masih hidup di Indonesia hingga saat ini adalah perayaan Tabut (Tabut) yang diselenggarakan setiap bulan Muharram (Asyura). Tradisi ini masih bisa dijumpai di kawasan pantai barat Sumatera seperti Padang Pariaman dan Bengkulu.
Bagi sebagian orang, perayaan Tabuik ini merupakan bukti bahwa Islam masuk ke Tanah Sumatera salah satunya dibawa dari kawasan Persia yang notabene merupakan pusat perkembangan faham Syi'ah. Sebagian lagi menolak pandangan ini.
Buya Hamka dalam Sedjarah Islam di Sumatera (Pustaka Nasional, Medan: 1950: hlm. 19) tak memungkiri besarnya pengaruh Persia dalam perkembangan Islam di Sumatera. Hamka mencontohkan, bahwa di Istana baginda Maharaja al-Malikuz Zhahir di Pasai tedapat ulama-ulama Persia, walaupun agaknya mereka ketutunan Arab juga, tapi mereka adalah Arab Persia. Bukti itu -menurut beliau- semakin dikuatkan dengan gelaran-gelaran yang dipakai oleh Raja-raja Melayu, baik di Malaka maupun di Aceh.
Tapi baiklah, kita tidak ingin membahas polemik sunni-syiah yang nampak tak berujung itu. Dalam postingan ini, saya hanya ingin mengutip sedikit tentang catatan sastrawan tentang perayaan ini.
Dalam buku romannya, Karena Mentua (Balai Pustaka, 1930), pujangga Alm. Nur St. Iskandar menceritakan sekilas tentang perayaan Tabuik di Padang masa sebelum tahun 1930an.
"Sejak dari 10 Muharram, telah kedengaran bunyi tasa dan dol - gendang dan tambur - bersahut-sahutan dengan riuh rendah. Hari pertama tambur, orang pulang dari sungai mengambil tanah, dengan lagu pulang-pulang, yaitu tanah yang akan dikepal-kepal menyerupai tubuh manusia yang tiada berkepala... semisal Husain yang mati berpedang di Padang Karbela, lalu dikafani dengan kain putih dan diletakkan di aluah dalam dargah..."
"Lebih ramai, lebih sibuk dan gembira lagi pada hari yang kelima, yaitu pada lima hari bulan Muharram. Ketika itu orang pergi mengambil batang pisang, maksudnya mengambil kepala Husain yang terpenggal di tengah padang Karbela..."
Sesampai ke tepi laut, tabut itu pun berhenti dan bunyi-bunyian diam. Hening, hanya kedengaran bunyi langkah dan deru dengung orang banyak yang datang berkerumun ke dekat arakan itu, akan melihat keindahannya. Yang datang mula-mula itu ialah tabut Berok, bertingkat dua, bergambar borak dan berukir-ukir kertas telur. ... Memang, sebab sejurus kemudian segala arakan itu pun dibuang masuk laut dengan ratap dan tangis.
Tangis dan ratap perceraian ...
Bagi sebagian orang, perayaan Tabuik ini merupakan bukti bahwa Islam masuk ke Tanah Sumatera salah satunya dibawa dari kawasan Persia yang notabene merupakan pusat perkembangan faham Syi'ah. Sebagian lagi menolak pandangan ini.
Buya Hamka dalam Sedjarah Islam di Sumatera (Pustaka Nasional, Medan: 1950: hlm. 19) tak memungkiri besarnya pengaruh Persia dalam perkembangan Islam di Sumatera. Hamka mencontohkan, bahwa di Istana baginda Maharaja al-Malikuz Zhahir di Pasai tedapat ulama-ulama Persia, walaupun agaknya mereka ketutunan Arab juga, tapi mereka adalah Arab Persia. Bukti itu -menurut beliau- semakin dikuatkan dengan gelaran-gelaran yang dipakai oleh Raja-raja Melayu, baik di Malaka maupun di Aceh.
Tapi baiklah, kita tidak ingin membahas polemik sunni-syiah yang nampak tak berujung itu. Dalam postingan ini, saya hanya ingin mengutip sedikit tentang catatan sastrawan tentang perayaan ini.
Dalam buku romannya, Karena Mentua (Balai Pustaka, 1930), pujangga Alm. Nur St. Iskandar menceritakan sekilas tentang perayaan Tabuik di Padang masa sebelum tahun 1930an.
"Sejak dari 10 Muharram, telah kedengaran bunyi tasa dan dol - gendang dan tambur - bersahut-sahutan dengan riuh rendah. Hari pertama tambur, orang pulang dari sungai mengambil tanah, dengan lagu pulang-pulang, yaitu tanah yang akan dikepal-kepal menyerupai tubuh manusia yang tiada berkepala... semisal Husain yang mati berpedang di Padang Karbela, lalu dikafani dengan kain putih dan diletakkan di aluah dalam dargah..."
"Lebih ramai, lebih sibuk dan gembira lagi pada hari yang kelima, yaitu pada lima hari bulan Muharram. Ketika itu orang pergi mengambil batang pisang, maksudnya mengambil kepala Husain yang terpenggal di tengah padang Karbela..."
Sesampai ke tepi laut, tabut itu pun berhenti dan bunyi-bunyian diam. Hening, hanya kedengaran bunyi langkah dan deru dengung orang banyak yang datang berkerumun ke dekat arakan itu, akan melihat keindahannya. Yang datang mula-mula itu ialah tabut Berok, bertingkat dua, bergambar borak dan berukir-ukir kertas telur. ... Memang, sebab sejurus kemudian segala arakan itu pun dibuang masuk laut dengan ratap dan tangis.
Tangis dan ratap perceraian ...
Bagaimana Komentarmu?