Perceraian Orang Yahudi Di Pengadilan Mesir
Pada tahun 1955, sepasang suami istri Yahudi dari sekte Karaite (yang didirikan oleh Anan Ben David di Irak) menjalani persidangan dalam perkara perceraian di Pengadilan Kairo tingkat pertama, di mana suami menggugat cerai terhadap istri.
Dalam putusannya tanggal 24 Januari 1956, Pengadilan Kairo memutuskan menolak gugatan suami dengan pertimbangan hukum yang diambil dari ajaran Yahudi Karaite sendiri. Dalam pertimbangannya, Pengadilan menyatakan:
Dalam pertimbangannya, pengadilan banding menulis:
[Sumber: Abdurrahman Al-Shabuni, Mada Hurriyyah al-Zaujayni fi al-Thalaq fi al-Syari'ah al-Islamiyyah Dirasah Muqaranah Ma'a al-Syara'i al-Samawiyyah wa al-Qawanin al-Ajnabiyyah wa Qawanin al-Ahwal al-Syakhshiyyah al-'Arabiyyah, Hlm. 35]
Dalam putusannya tanggal 24 Januari 1956, Pengadilan Kairo memutuskan menolak gugatan suami dengan pertimbangan hukum yang diambil dari ajaran Yahudi Karaite sendiri. Dalam pertimbangannya, Pengadilan menyatakan:
"Bahwa berdasarkan ajaran syariat Musa yang wajib diterapkan dalam perkara ini, bahwa ikatan suami istri tidak dapat diputuskan kecuali dengan perceraian, yang mana perceraian tersebut tidak sah kecuali dilakukan di depan pemerintah yang sah, yaitu dengan cara seorang suami menyerahkan sendiri akta cerai kepada istri yang diceraikannya dengan berkata: "terimalah akta cerai ini, dan dengan ini engkau telah aku ceraikan", hal ini sesuai ketentuan Pasal 321, 325 dan 336".Di tingkat banding, putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kairo melalui putusannya tanggal 21 Mei 1958, di mana para hakim tinggi menyatakan bahwa seorang pria Yahudi tidak dapat menceraikan istrinya secara sepihak tanpa ada persetujuan istri.
Dalam pertimbangannya, pengadilan banding menulis:
"Nyata tertulis dalam dalam teks-teks hukum bangsa Israel, bahwa suatu perceraian tidak terjadi bagi kaum Yahudi Karaite apabila tidak disertai persetujuan dari istri, serta disertai alasan yang diterima secara hukum dan kebiasaan, dan alasan tersebut haruslah dipertimbangkan secara benar oleh Hakim".Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Mesir membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding tersebut. Mahkamah menilai bahwa putusan tersebut tidak pada tempatnya. Mahkamah mengadili bahwa cerai yang diajukan oleh suami di persidangan dapat diterima, meski tanpa persetujuan istri, namun dengan suatu alasan yang benar berdasarkan pertimbangan hakim, gugatan cerai dapat dikabulkan.
[Sumber: Abdurrahman Al-Shabuni, Mada Hurriyyah al-Zaujayni fi al-Thalaq fi al-Syari'ah al-Islamiyyah Dirasah Muqaranah Ma'a al-Syara'i al-Samawiyyah wa al-Qawanin al-Ajnabiyyah wa Qawanin al-Ahwal al-Syakhshiyyah al-'Arabiyyah, Hlm. 35]
Bagaimana Komentarmu?