Pandangan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Tentang Makna Fi Sabilillah Dalam Surah At-Taubah [60] Ashnaf Zakat
Salah satu ashnaf zakat yang di sebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60 adalah Fi Sabilillah. Terkait hal ini, para ulama memiliki pandangan yang beragam dalam memahami ayat tersebut.
Ulama salaf pada umumnya (jumhur) memahami bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah mereka yang terjun berperang di jalan Allah dalam arti perang fisik bersenjata. Dengan demikian, mereka berpandangan bahwa bagian fi sabilillah tidak dapat diberikan kepada selain mereka.
Sementara ulama muta'akhkhirin berpandangan bahwa fi sabilillah memiliki makna yang sangat luas yang tidak terbatas pada makna perang, tapi mencakup setiap mereka yang sedang mengerjakan kebaikan dalam arti jihad yang luas, seperti membangun masjid, membantu perjalanan haji, membangun jembatan dan lain sebagainya.
Di antara ulama yang memahami fi sabilillah secara luas adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Mahmud Syaltut dan lain-lain.
Dalam bukunya Fiqh Al-Zakah, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menggambarkan secara luas tentang kedua pemahaman ini. Dan pada akhirnya beliau mengemukakan jalan tengah yang moderat bagi pemahaman fi sabilillah tersebut. Dengan kata lain, beliau tidak ingin terlalu memperluas makna fi sabilillah sehingga menjadi seakan tanpa batas, dan tidak ingin terlalu mempersempitnya sehingga hanya difahami sebagai peperangan militer.
Dalam kitab beliau Fiqh al-Zakah Juz. II halaman 657, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi memberikan semacam dhawabit (standar) tentang makna fi sabilillah yang berhak menerima zakat. Berikut petikannya:
Berikut terjemahannya:
1. Hendaklah berupa jihad, baik jihad militer, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
2. Hendaklah dilakukan di jalan Allah, dalam arti jihad tersebut bertujuan untuk menegakkan kemuliaan Islam.
Wallahu A'lam.
Ulama salaf pada umumnya (jumhur) memahami bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah mereka yang terjun berperang di jalan Allah dalam arti perang fisik bersenjata. Dengan demikian, mereka berpandangan bahwa bagian fi sabilillah tidak dapat diberikan kepada selain mereka.
Sementara ulama muta'akhkhirin berpandangan bahwa fi sabilillah memiliki makna yang sangat luas yang tidak terbatas pada makna perang, tapi mencakup setiap mereka yang sedang mengerjakan kebaikan dalam arti jihad yang luas, seperti membangun masjid, membantu perjalanan haji, membangun jembatan dan lain sebagainya.
Di antara ulama yang memahami fi sabilillah secara luas adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Mahmud Syaltut dan lain-lain.
Dalam bukunya Fiqh Al-Zakah, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menggambarkan secara luas tentang kedua pemahaman ini. Dan pada akhirnya beliau mengemukakan jalan tengah yang moderat bagi pemahaman fi sabilillah tersebut. Dengan kata lain, beliau tidak ingin terlalu memperluas makna fi sabilillah sehingga menjadi seakan tanpa batas, dan tidak ingin terlalu mempersempitnya sehingga hanya difahami sebagai peperangan militer.
Dalam kitab beliau Fiqh al-Zakah Juz. II halaman 657, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi memberikan semacam dhawabit (standar) tentang makna fi sabilillah yang berhak menerima zakat. Berikut petikannya:
Pandangan cukup moderat dari Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi tentang makna Fi Sabilillah [Fiqh al-Zakah Juz. II hlm. 657 |
Oleh karena itu, saya lebih memilih untuk tidak terlalu bebas dan berlapang-lapang dalam memahami makna fi sabilillah sehingga mencakup seluruh makna amal saleh dan perbuatan baik lainnya. Dan saya juga tidak ingin terlalu sempit memahaminya sehingga hanya terbatas pada jihad secara militer saja.Dari kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa Syaikh Yusuf al-Qaradhawi memberikan 2 variabel dalam memahami makna fi sabilillah yang boleh menerima zakat, yaitu:
Sesungguhnya, jihad itu dapat dilakukan dengan pena dan perkataan, sebagaimana juga dapat dilakukan dengan pedang dan tombak. Jihad dapat berupa jihad pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi dan politik, sebagaimana juga dapat berupa militer.
Semua jenis jihad ini tentunya memerlukan bantuan dan dana.
Yang penting, dalam jihad tersebut harus terpenuhi syarat utama: yaitu hendaklah dilakukan di jalan Allah. Artinya, hendaknya semua jenis jihad tersebut bertujuan untuk menegakkan Islam dan meninggikan kalimat Allah di atas muka bumi ini. Dengan demikian, maka setiap jihad yang dilakukan dengan tujuan agar agama Allah Swt ini menjadi mulia, maka jihad tersebut adalah jihad fi sabilillah, apapun bentuknya, apa pun senjatanya.
1. Hendaklah berupa jihad, baik jihad militer, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
2. Hendaklah dilakukan di jalan Allah, dalam arti jihad tersebut bertujuan untuk menegakkan kemuliaan Islam.
Wallahu A'lam.
Bagaimana Komentarmu?